Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu.
Dia berkata: Pamanku Abu Burdah telah menyembelih hewan kurbannya
sebelum sholat (hari raya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya, “Kambing yang kamu sembelih itu
adalah kambing biasa yang bisa dimanfaatkan dagingnya (bukan kambing
qurban).” Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, -kalau begitu-
saya masih punya kambing jadza’ah (kambing yang sudah berusia 2
tahun)–untuk disembelih-.” Beliau menjawab, “Ya sudah,
berqurbanlah dengannya, akan tetapi hal ini tidak diperbolehkan bagi
selain dirimu.” Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang
menyembelih qurban sebelum sholat (hari raya) sesungguhnya hanya
menyembelih untuk dirinya sendiri. Adapun yang menyembelih sesudah
sholat maka ibadah qurbannya telah sempurna (memenuhi syarat) dan
mencocoki ajaran/sunnah kaum muslimin.” (lihat Syarh Muslim
[7/40-41], Fath al-Bari [10/6 dst]
)
Hadits yang agung ini
mengandung pelajaran-pelajaran berharga, di antaranya:
Pertama;
Ibadah qurban merupakan sunnah; yaitu ajaran yang telah
mendarah-daging dalam tubuh kaum muslimin. Yang dimaksud istilah sunnah
di sini adalah bermakna jalan/metode, bukan sunnah dalam istilah fikih
–yang bermakna mustahab/dianjurkan- yang merupakan lawan dari perkara
wajib. Oleh sebab itu, Imam Bukhari rahimahullah membawakan
hadits ini di bawah judul bab ‘Sunnah Udh-hiyah’ (Disunnahkannya
menyembelih qurban). Sehingga makna Sunnah di dalam hadits ini tidak
diartikan dengan istilah Sunnah dalam ilmu fikih. Kemudian apabila
ternyata tidak ada dalil yang menegaskan wajibnya ibadah ini, maka ia
tetap berada pada hukum asalnya yaitu sunnah/mustahab, inilah alasan
Imam Bukhari mencantumkan hadits ini di bawah judul bab tersebut (lihat
Fath al-Bari [10/6]).
Beliau –Imam Bukhari- juga membawakan riwayat dari Ibnu Umar dengan
tanpa sanad, dan riwayat ini disebutkan secara lengkap dengan sanadnya
oleh Hamad bin Salamah dalam Mushannafnya demikian juga oleh Imam
Tirmidzi bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang bertanya kepada Ibnu
Umar tentang qurban, apakah itu merupakan kewajiban? Maka beliau
menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
muslimin setelahnya biasa berqurban.” Kemudian Imam Tirmidzi
berkata, “Demikianlah yang telah diamalkan di kalangan para ulama,
yaitu bahwasanya qurban bukanlah sesuatu yang wajib…” Ibnu Hajar
juga menukil ucapan Ibnu Hazm, “Tidak ada riwayat yang sah dari
seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa bahwa qurban itu wajib…”
(lihat Fath al-Bari [10/5]).
Kedua;
Waktu penyembelihan qurban adalah setelah selesai pelaksanaan sholat
hari raya. Di dalam riwayat Aisyah, Anas bin Malik dan Jundab bin
Sufyan al-Bajali –radhiyallahu’anhum-, dikatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang sudah terlanjur menyembelih sebelum sholat maka hendaklah dia
mengulanginya.” (lihat Syarh Muslim [7/38-44 dan Fath
al-Bari [10/8]). Sebagian orang yang mewajibkan qurban berdalil
dengan perintah yang ada dalam hadits ini (karena hukum asal perintah
adalah wajib). Namun, hal ini tidak tepat, karena maksud perintah di
sini adalah untuk mengulangi penyembelihan agar berada pada waktu yang
dibenarkan oleh syari’at. Ungkapan Nabi tersebut sama saja dengan
ucapan yang ditujukan –misalnya- kepada orang yang melakukan sholat
Dhuha sebelum matahari terbit, “Apabila matahari sudah terbit maka
ulangilah sholatmu.” Tentu saja perintah di sini tidak menunjukkan
wajibnya sholat Dhuha, demikian makna penjelasan Ibnu Hajar, wallahu
a’lam (lihat Fath al-Bari [10/6 dan 20,22])
Ketiga;
Sosok manusia yang dijadikan sebagai rujukan hukum adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan boleh jadi beliau mengkhususkan suatu
hukum kepada seseorang dan tidak kepada yang lain, walaupun tidak ada
udzur dari syari’at bagi orang tersebut (lihat Fath al-Bari
[10/20]). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman, sampa mereka
menjadikanmu sebagai hakim atas segala perselisihan yang terjadi di
antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit terhadap
keputusan hukum yang kamu berikan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.”
(QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga
berfirman (yang artinya), “Tidak layak bagi orang yang beriman
lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan
suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka alternatif yang lain dalam
urusan mereka itu.” (QS. al-Ahzab: 36)
Keempat;
Perintah kepada satu orang pada dasarnya berlaku bagi semua orang yang
terbebani syari’at di kalangan umat ini selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya bagi orang tertentu (lihat Fath al-Bari
[10/20]).
Kelima;
Hendaknya seorang imam juga mengajarkan kepada orang-orang (jama’ah)
mengenai hukum-hukum qurban di sela-sela menyampaikan khutbahnya (lihat
Fath al-Bari [10/20]). Kisahnya adalah, bahwa ketika itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah Iedul Adha -setelah sholat- dan
menyampaikan tuntunan qurban ini. Kemudian Abu Burdah pun melaporkan
bahwa dia sudah terlanjur menyembelih hewan qurbannya lalu Nabi
memerintahkannya untuk mengulangi qurbannya (lihat Fath al-Bari
[10/19 dan 23]).
Keenam;
Hadits ini menunjukkan sahnya seorang kepala keluarga berqurban hanya
dengan seekor kambing untuk dirinya beserta keluarganya (lihat Fath
al-Bari [10/20]).
Ketujuh;
Ibnu Abi Jamrah berkata, “Suatu amalan meskipun dikerjakan dengan
niat yang baik maka tidak dinilai sah kecuali apabila mengikuti tuntunan
syari’at.” (lihat Fath al-Bari [10/20]). Maka tidak benar
ungkapan yang populer dari sebagian kalangan, “Yang penting ‘kan
niatnya!”. Niat yang benar tidak cukup jika tidak dikerjakan dengan
cara yang benar pula, camkan hal ini baik-baik!
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel :www. muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar